Langkau ke kandungan utama

(APA YANG KITA BOLEH BELAJAR DARI SEORANG ABU DZAR?)




KATA PENGANTAR  (APA YANG KITA BOLEH BELAJAR DARI SEORANG ABU DZAR?)

“..Mengikuti tradisi Abu Dzar yang saya anggap guru saya, yang pemikirannya, pemahamannya akan Islam dan ajaran Syi’ah, dan yang cita-cita, keinginan-keinginan dan kegemarannya saya tiru, saya mulai perbicaraan ini atas nama Tuhan kaum tertindas (Bismillahi Rabbil Mustadh’afin)...[1]” (Ali Syari’ati)

Pertamanya, Abu Dzar adalah seorang non-komformis, dan dia harus dibaca sebagai seorang non-komformis. Dia satu-satunya sahabat Nabi Saw yang dikatakan, “..semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Abu Dzar, yang hidup menyendiri, mati menyendiri dan akan dibangkitkan sendiri pula.” Dia adalah seorang pejuang kebenaran, yang akhirnya seperti tradisi para Nabi selalu ditinggalkan. Dia adalah seorang yang teguh pendirian walau senantiasa sendirian.

Keduanya, dia berasal dari rebellious proletariat – kaum Robin Hood ‘versi Arab’ iaitu kabilah Ghifar. Ini perlu disebutkan untuk memberitahu latar pemberontakan masyarakat di Timur juga berkembang lebih awal sebelum di Barat seperti kisah Robin Hood era Perang Salib.

Ghifar, suku yang tekenal jahat, para perompak! Para perompak barang-barang dan menganggu kafilah dagang, para penjahat yang bahkan tidak menghormati keempat bulan suci. Mereka juga menganggu keamanan yang menguasai semenanjung itu. Ketika para kafilah dagang ―yang bergerak antara Rom, Mekah dan Iran, di bawah perlindungan agama sepanjang bulan-bulan ziarah ini ― melintasi tempat yang berbahaya Rabadzah, mereka sekali lagi melihat orang Ghifar, dengan pedang di atas kepala, meluncur menyerang mereka dari tempat hadangan. Rakyat Ghifar, orang-orang miskin, pendosa, jahat, daripada menadahkan tangan bak mangkuk pengemis kepada kafilah-kafilah dagang, mereka memberikan pedangnya kepada para majikan itu!

Bagaimana Ali Syari’ati memandang seorang Abu Dzar?
Ali Syari’ati banyak kali menyebut nama Abu Dzar, bukan sahaja fokus dan khusus dalam karya Abu Dzar ini malah dalam banyak tulisannya yang lain seperti ‘Membangun Masa Depan Islam’ (edisi Inggeris, ‘What Is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance) terbitan dan terjemahan Penerbit Mizan. Bahkan bukan setakat menyebutkan nama, malah cuba membandingkan (baca: mengagungkan) Abu Dzar dengan tokoh-tokoh utama seperti Socrates, Ibn Sina, Mulla Sadra, Pascal juga Proudhon.

Abu Dzar, Pascal & Proudhon
“..Setiap kali saya memikirkan kehidupan Abu Dzar dan melihat pengabdiannya kepada Tuhan, saya teringat kepada Pascal. Pascal mengatakan, “Hati mempunyai penalaran yang tidak dapat dicapai fikiran. Hati menyaksikan adanya Tuhan, bukan akal; iman datang melaluinya.” 

Abu Dzar tidak meminta mukjizat seperti kebanyakan Bani Israel ketika bersama Nabi Musa atau seperti Kaum Musyrikin Mekah ketika bersama Nabi Muhammad. Ali Syari’ati menuliskan[2], ‘..Kaum Muslim terdahulu (seperti Ali, Abu Dzar, Ammar, Salman dan lainnya) tidak pernah menuntut mukjizat apapun dari Nabi. Segera setelah Nabi bersabda, mereka mengenali kebaikan pesan yang dibawanya. Misalnya, ketika kembali dari padang pasir dan bertemu dengan Nabi, Abu Dzar bertanya tentang kenabian dan pesannya. Jawapan yang sederhana dari Nabi meyakinkan Abu Dzar bahawa ia adalah “yang ditunggu-tunggu oleh umat manusia”. Terdorong oleh iman dan ketulusannya, Abu Dzar membelanjakan harta dan menyerahkan kehidupannya untuk mendukung dan menyebarkan pesan Nabi.

Dalam pembakaran yang perih dan kecemasan yang pedih dan suatu kelahiran, sendirian di dunia, hanya suatu bayangan di padang pasir, di tengah malam, di bawah langit gurun yang menyaksikan, seluruh wujudnya dialamatkan kepada ‘Dia!’, ia tiba-tiba tersungkur ke pasir, kepalanya sujud di atas bumi. Dan Suara kegelisahan, sentimen-sentimen lama terlepas ―menangis. 

Inilah sembahyang Abu Dzar yang pertama. 



“Tiga tahun sebelum saya bertemu dengan Nabi Allah, saya menyembah Allah.” (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal…,)



Pascal[3]
Pascal adalah seorang tokoh falsafah Kristian, sepertimana Thomas Aquinas. Perbezaannya dengan Thomas Aquinas selain zaman, adalah beliau seorang ahli falsafah yang pesimis. Sepertimana Abu Dzar, beliau lahir di satu kawasan kampung di pergunungan. Antara karya terpenting Pascal adalah Pensees atau Fikiran-fikiran. Beliau agak unik dan menarik kerana tulisannya sering mempertahankan kepercayaan Kristianiti dengan lenggok bahasa yang pesimistik. Kebiasaannya agama selalu dipertahankan dengan bahasa dan semangat yang optimistik. Tujuan karya Pensees adalah untuk membawa pembaca kepada Tuhan dengan cara mengutarakan kesemua kesengsaraan di dalam kehidupan ini. Pascal memang berniat untuk mendorong para pembacanya kepada Gereja Katolik untuk mendapatkan penyelamatan. Tetapi sudah tentulah tidak semudah itu membawa manusia kembali kepada agama.

Mungkinkah persamaan Pascal dan Abu Dzar adalah tentang bagaimana perspektif suram mereka dalam melihat dunia –puisi Ali Syari’ati di permulaan buku ini boleh diambilkira- kita boleh melihat betapa suram dan muramnya seorang putera Tauhid bernama Abu Dzar ini ketika menyaksikan urusan kekhalifahan telah terpenggal dari keluarga Nabi dan bagaimana nantinya Abu Dzar seperti yang tersabda Nabi, “Abu Dzar, di muka bumi ini, dalam masyarakat ini, berjalan sendirian, mati sendirian; di padang mahsyar di Hari Kiamat, ketika kubur-kubur dibangkitkan, dan kelompok demi kelompok mayat bangkit, Abu Dzar akan dibangkitkan di suatu sudut padang mahsyar, sendirian, dan akan bergabung bersama-sama![4]

Proudhon
“..Ketika ia sedang berbicara tentang kapitalisme dan penimbunan kekayaan, ketika ia sedang gigih membela orang-orang yang melarat, ketika ia sedang berpaling menghadapi para aristokrat dan para penghuni istana Damsyiq dan Madinah, ia mengingatkan kita kepada Proudhon[5], tetapi bagaimanapun, Abu Dzar tidak sama dengan Pascal dan Proudhon…,”

Tidak dapat dipastikan mengapa Ali Syari’ati menarik Proudhon, sang anarkis ke dalam buku ini dan cuba mengikutsertakan antara keduanya dengan Pascal. Adakah sekadar menyebutkan nama?

Tetapi yang dapat dipastikan, kedua-dua sosok ini, Abu Dzar dan Proudhon menentang apa yang dipanggil sebagai ‘property’. Antara karya Proudhon yang terkenal adalah ‘What Is Property’, yang tesis agungnya adalah, ‘Property is theft’.

Property Is Theft[6]
Idea property ini sebenarnya telah diamalkan sebelum era imperalisme di tempat kita iaitu berdasarkan konsep siapa yang membuka tanah, dialah tuan punya tanah. Dan orang itu mestilah duduk di situ. Ini adalah konsep lama tentang property.

Property menurut Proudhon adalah eksploitasi dari seorang manusia ke atas manusia lain yang bersifat autoriti atau ‘tuan’ dan berdasarkan hak untuk menggunakan tenaga buruh orang lain. Proudhon membezakan antara property dan kemilikan. Kemilikan atau possession adalah orang yang menggunakan resource untuk mengawalnya berdasarkan kerjasama antara pekerja atau artisan yang bekerja sendiri.

Di dalam tulisannya tersebut, Proudhon menjelaskan sebuah perbezaan penting antara kepemilikan barang-barang untuk manfaat persendirian, yang dikategorikannya sebagai kemilikan (possession) dan property – yang ia contohkan seperti: kilang, alat-alat berat, tanah, barang-barangan mentah dan barang-barang lainnya yang boleh dimanfaatkan untuk menciptakan keuntungan. Kekuatan dari property untuk memanfaatkan pekerja adalah apa yang dimaksudkan oleh Proudhon di dalam sebuah penjelasannya yang terkenal dan penuh dengan paradox[7]:

Jika ada yang bertanya padaku: “Apa itu Perhambaan?” maka aku akan menjawabnya dengan satu kata, “Pembunuhan!”, dan maksudku akan difahami cukup sekali lafaz. Tidak perlu ada hujah lain untuk menjelaskan bahawa kekuatan untuk mengambil pemikiran orang, keinginan serta personaliti mereka, adalah sebuah kekuatan hidup dan mati, kerana itu memperhambakan seseorang sahaja sama sahaja dengan membunuh mereka. Lalu kemudian ada pertanyaan yang lain: “Apa itu Property?” (What Is Property?) kenapa tidak aku menjawabnya sebagai, “Pencurian? (Property Is Theft)”

Menurut Proudhon semua pekerja harus memiliki hak yang penuh atas apa yang mereka hasilkan bukan dari apa yang menghasilkan: hak dari hasil-hasil adalah eksklusif; hak dari menghasilkan itu dimiliki bersama.” Dengan demikian sumber daya alam yang ada di bumi ini bukanlah milik satu orang atau siapapun, begitu pula dengan bakat-bakat teknik dan kemampuan produktif dari masyarakat yang harus diwarisi ke semua orang.

Proudhon adalah seorang mutual anarchist yang lahir pada tahun 1809 di Franche-Comte, bahagian timur Perancis. Ibunya bekerja sebagai tukang masak dan ayahnya bekerja sebagai penternak, pembuat minuman dan seorang penjaga kedai yang bankrap. Sebahagian besar dari masa kecilnya dihabiskan dengan menggembala lembu di wilayah pergunungan Jura, sebuah pengalaman yang menjadi inspirasinya akan sebuah kehidupan bebas di desa. Melalui pengalaman inilah Proudhon membentuk semua pandangan falsafahnya. Proudhon adalah seorang yang belajar sendiri (autodidact) yang tekun; di umurnya yang ke 19, ia mendapat biasiswa untuk belajar di Paris, namun kemelaratan keluarganya memaksa Proudhon untuk berhenti sekolah. Ia kemudian dilatih sebagai jurucetak hingga kemudian memulakan usahanya sendiri di Besancon. Usahanya gagal, dan meninggalkan hutang yang akhir membayanginya seumur hidup. Ketika pindah ke Paris, ia menyaksikan kemerosotan kehidupan pekerja kota dan mula bergabung dengan organisasi revolusioner. Di tahun 1840, Proudhon menerbitkan tulisannya yang terkenal itu, What Is Property?

Dalam nota kaki Membangun Masa Depan Islam, karya Ali Syari’ati (terjemahan Indonesia) terbitan Penerbit Mizan, pada esei Apa yang Harus Dilakukan? disebutkan bahawa Abu Dzar tidak berbicara tentang harta yang halal atau haram. Ia tidak mengatakan apakah harta itu diperoleh dengan cara-cara yang diizinkan oleh agama atau tidak. Percakapan sedemikian ini sering terjadi di dalam lingkungan kekhalifahan Uthman yang dihadiri orang-orang seperti Ka’ab Al-Ahbar dan Abu Hurairah. Dalam pandangan Abu Dzar, setiap jenis kekayaan yang berlebihan tidak lain merupakan sebuah luka bakar di wajah pemiliknya, sebab kekayaan tersebut dicuri dari rakyat baik melalui tipuan-tipuan (trick) keagamaan (helah) atau bukan.[8]

Selain latar Pascal yang lahir di satu kawasan kampung di pergunungan dan Proudhon yang menurut Karl Marx, lahir di kalangan golongan proletariat dan Proudhon adalah orang yang sepatutnya memperjuangkan golongan proletariat, kerana di zaman itu kebanyakan pemikir kiri adalah di kalangan orang borjuah yang terpelajar[9], mungkin boleh disimpulkan tentang kedua tokoh iaitu Pascal dan Proudhon yang menjadi perhatian Ali Syari’ati adalah seperti tarikan Jesus dan Karl Marx dalam watak Nabi Muhammad menurut Roger Garaudy, seorang Kristian Marxist yang akhirnya memeluk Islam. Seorang pengkaji Muhsin Al-Mayli bahkan mengatakan antara tujuan utama falsafah Roger Garaudy adalah penjinakan atau “penyatuan antara Marx dan Kierkegaard,” antara pragmatism dan makna, antara perjuangan dan cinta dan antara aksi politik dan iman.[10] Garaudy bahkan menjelaskan ketiga sumber ini (Blondel, Kierkegaard dan Marx) saling memasuki eksistensi dan pemikirannya. Di samping kontradiksi dan perbezaan yang ada dalam ketiga sumber tersebut tetapi pada sisi lain ketiganya sanggup saling merekat dan “membentuk buhul yang tak pernah tanggal.”[11] Abu Dzar adalah Insan Kamil gabungan antara dua watak, Pascal dan Proudhon sepertimana yang ditulis Ali Syari’ati,
Proudhon tidak mempunyai kemurnian, pengabdian dan peribadatan seperti Abu Dzar, tidak pula Pascal mempunyai kegiatan dan ghairah sepertinya. Abu Dzar telah menjadi insan kamil, manusia sempurna, dalam akidah Islam. Ucapan- ucapannya cukup menunjukkan kebesarannya (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal..,)

Mungkin juga persamaan antara Abu Dzar dan Proudhon adalah kedua-duanya adalah revolusioner pada zaman masing-masing, tetapi bukan dengan menyerukan pemberontakan bersenjata. Menurut Franz Magnis Suseno[12], Proudhon tidak suka dengan segala macam pemberontakan dan pemogokan. Ia khuatir bahawa kekerasan akan lebih mengusutkan keadaan. Abu Dzar juga apabila diusir keluar tidak mengisytiharkan pemberontakan.

Abu Dzar, Ibn Sina & Mulla Sadra
Menurut Ali Syari’ati, hikmah akan melahirkan iman dan tanggungjawab seperti yang dimiliki oleh seorang Abu Dzar yang tidak terpelajar, dan yang tidak dimiliki oleh Ibn Sina dan Mulla Sadra.[13] Itulah sebabnya mengapa kadang-kadang seseorang yang tidak terpelajar muncul dan mendayagunakan kehidupan dalam suatu masyarakat  yang statik dan menuntunnya menuju cita-cita, sementara banyak ilmuwan bahkan tidak dapat mengambil langkah pertama untuk melahirkan perubahan-perubahan, kesedaran diri dan pembentukan cita-cita bersama, suatu keyakinan baru dan kecintaan kepada kesedaran dalam masyarakat mereka. Sebaliknya, dengan memanfaatkan kekuatan ilmu mereka, para ilmuwan itu kemudian bertindak sebagai penghalang kemajuan masyarakat-masyarakat mereka sendiri dan juga seluruh umat manusia.[14]

Menurut Ali Syari’ati, di zaman moden, ketika manusia telah mencapai jalan buntu dalam perkembangan masyarakatnya, dan ketika negara-negara membangun sedang berjuang melawan berbagai kesulitan dan kekurangan, orang yang tercerahkan adalah orang yang mampu menumbuhkan rasa tanggungjawab dan kesedaran dan memberi arah intelektual dan sosial kepada massa/rakyat. Dengan demikian orang yang tercerahkan tidak harus seorang yang telah mewarisi dan melanjutkan karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristotle dan Ibn Sina.[15] Para ilmuwan moden seperti Einstein dan Von Braunlah yang akan melengkapkan dan melanjutkan prestasi-prestasi mereka. Menurut Ali Syari’ati, para nabi tidak sama dengan semua itu. Para nabi tidak termasuk dalam kategori yang sama dengan ahli falsafah, ilmuwan, juruteknik atau seniman. Para nabi sering muncul dari kalangan rakyat jelata dan mampu bercakap dengan bahasa rakyat. Mereka tidak termasuk masyarakat awam yang biasanya merupakan produk sekaligus tawanan dari tradisi-tradisi dan cetakan atau struktur sosial yang sudah kuno. Sebaliknya mereka termasuk dalam kategori mereka sendiri.

Menentang Slogan yang Kaku dan Palsu (Kembali Pada Qur’an dan Sunnah)

“Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus memperincikan lagi, Islam yang mana kita maksudkan? Islam Abu Dzar atau Islam Marwan, sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbezaan di antara keduanya. Satunya adalah Islam kekhalifahan, istana dan penguasa. Sedangkan satu lagi adalah Islam merakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih jauh, tidak cukup sah dengan sekadar berkata, bahawa (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalifah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekadar kepedulian, Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan menghapuskan kemiskinan.”
(Ali Syari’ati dalam Islamologi)

Ali Syari’ati, sang rausyanfikir yang juga penggagas konsep rausyanfikir ini seakan hidup di zaman ini dan menempelak slogan yang kaku dan palsu seperti ‘balik kepada Qur’an dan Sunnah’ atau ‘Islam is Way of Life’, ini adalah slogan retorika yang tidak ada hujung pangkal. Al-Qur’an bukan dibaca dalam perspektif kaum tertindas, tetapi dibaca dalam perspektif neutral a.k.a memihak kepada mereka yang berkuasa, patuh dan taat setia. Al-Qur’an sebeginilah yang dibaca zaman berzaman menyebabkan kemandekan semangat zaman. Geist Islam yang penuh semangat revolusi, bertakung (tidak mengalir) akibat dihadapkan dengan pembacaan-pembacaan palsu sebegini. Islam tanpa pemihakan sebegini hanya menghadirkan ‘nabi-nabi palsu’, ‘Musailamah Al-Kazzab’ yang baru, menghasilkan sihir tipu. Mereka telah mengelabui kitab suci dengan lengan baju akan kisah para nabi menentang setiap despotic di zaman mereka.  

Pembicaraan sekarang ― di zaman Uthman ― ialah pengumpulan Al-Qur’an, pengaturan Al-Qur’an, pengoreksian salinan-salinan tulisan tangan ayat-ayat Al-Qur’an, persiapan satu salinan utama Al-Qur’an dan pembicaraan-pembicaraan serta pembacaan yang tidak putus-putusnya, ortografi, penempatan harkat dan titik-titik tanda baca; pembacaan dan qiraah, dan konflik-konflik, gangguan-gangguan, kepekaan, keberatan-keberatan dan penerimaan-penerimaan..., Abu Dzar membawa pembicaraan tentang ‘penimbunan’ (kinz) dari al-Qur’an.  (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal..,)

Abu Dzar dalam tinjauan Ali Syari’ati menempelak bacaan Al-Qur’an yang hanya menetekberatkan pada tetek bengek ilmu ortografi, penempatan harkat dan titik-titik tanda baca; pembacaan dan qiraah atau dikenali sebagai ilmu Tajwid pada hari ini. Abu Dzar memposisikan pembacaan Qur’an Sosial yang mencela, mengkritik, menyerang Kinz (penimbunan) yang dilakukan oleh kumpulan aristocrat Islam, sampai kumpulan ini pun bingung dan bengang, mereka yang bagai cacing kepanasan, menjerit,

“Abu Dzar! Apakah Al-Qur’an hanya mengandung ayat tentang ‘orang-orang alim yang memakan harta orang’ serta ayat ‘penimbunan’!?” 

Abu Dzar boleh dikatakan sebagai Muslim terawal yang kembali menghidupkan sunnah (revolusi) Nabi atau teologi revolusi Nabi yang telah dimatikan oleh kelompok aristocrat (bangsawan) Islam.

Kritikan yang konsisten terhadap Para Sahabat

“..Pendiri pemerintahan ini meninggal dunia, dan dengan melanggar hak-hak dan kedudukan politik Ali, batu pertama tembok kekhalifahan diletakkan dengan bengkok. Abu Bakar kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya, dan pukulan kedua pun menimpa pemerintahan Islam.

Walaupun Umar dan Abu Bakar sendiri adalah penyebab dari penyimpangan ini, namun organisasi politik Islam ditegakkan pada dasar-dasar yang telah dibangun Nabi sendiri: kesederhanaan, persamaan, pengagihan kekayaan yang adil, dan pencegahan sentralisasi.


Umar pun pergi dan diganti oleh Uthman; orang tua yang mengambil alih kendali pemerintahan. Ketidakstabilan yang telah terjadi pada dasar pemerintahan Islam, telah menjadi demikian besarnya, sehingga bangunan Muhammad Saw serta merta diruntuhkan. Dalam masa pemerintahan Uthman, kekhalifahan itu berubah menjadi kerajaan, rumah-rumah para pemimpin Islam yang dibina dari tanah liat berubah menjadi istana-istana, kesederhanaan berubah menjadi upacara megah…,” (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal…,)


Ali Syari’ati haruslah tetap dibaca sebagai seorang Syi’ah dalam memandang para sahabat, meskipun sebagaimana lunakpun ia dalam menanggapi persoalan Sunnah-Syi’ah sepertimana pendahulunya Afghani. Dalam petikan di atas menunjukkan betapa Ali Syari’ati tak jauh beza dengan Imam Khomeini dalam memandang Abu Bakar dan Umar, perbezaannya mungkin terletak pada Ali Syari’ati lebih berhati-hati dalam menyinggung permasalahan yang mengundang sensitiviti sektarian.


Persoalan Sahabat
Walau bagaimanapun pokok permasalahan terbahagi kepada tiga:
  1. Sahabat semuanya adil, dan mereka adalah para mujtahid. Ini adalah pendapat jumhur Ahlul Sunnah.

  1. Sahabat seperti orang lain, ada yang adil, dan ada yang fasiq kerana mereka dinilai berdasarkan perbuatan mereka. Oleh itu yang baik diberi ganjaran kerana kebaikannya. Sebaliknya yang jahat dibalas dengan kejahatannya. Ini adalah pendapat Syiah.

  1. Semua sahabat adalah kafir - semoga dijauhi Allah Ta'ala - ini adalah pendapat Khawarij yang terkeluar daripada Islam. Ianya tidak akan dilupakan selain daripada orang yang kafir.[16]

Ini adalah tiga perspektif asas dalam memandang para Sahabat. Ada pendapat mengatakan, semua Sahabat adalah adil (Sunnah), ada pendapat mengatakan, para Sahabat adalah sama seperti Muslim lain, ada yang adil, dan ada yang fasiq (Syi’ah) dan terakhir, ada yang mengatakan, semua Sahabat adalah kafir (Khawarij) menurut karya Syeikh Asad Haidar. Baik. Di mana posisi Ali Syari’ati dalam permasalahan setajam ini?

Seperti yang dikemukakan sebelum ini, Ali Syari’ati tak jauh berbeza dengan pandangan-pandangan muktabar Syi’ah lain seperti Imam Khomeini, cumanya dia lebih pandai menjaga sensitiviti. Berdasarkan tiga perspektif ini, Ali Syari’ati berada di posisi kedua, selepas dia mengkritik Abu Bakar, Umar (sekaligus mengakui meskipun bengkoknya mereka, mereka lebih dekat dengan tradisi Nabi berbanding Uthman) Uthman (dek kerana Uthmanlah membuka pintu masuk kepada Muawiyah) Ali Syari’ati menampilkan tokoh Sahabatnya, iaitu Abu Dzar.
“..Abu Dzar, orang yang keempat atau kelima masuk Islam dan yang pedangnya paling efektif dalam kemajuan gerakan Islam, melihat penyimpangan ini. Ali, cermin ketakwaan dan kebenaran, terkucil. Musuh-musuh Islam telah mendapatkan jalannya..,” (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal…,)

Adapun begitu, Ali Syari’ati masih menampakkan pandangannya yang jujur terhadap Abu Bakar dan Umar walaupun selepas mengkritik dua tokoh besar Sunnah ini dengan tajam. Terhadap Abu Bakar, Ali Syari’ati dalam karya ini menyebutkan,

“..Abu Bakar, untuk mendapatkan nafkahnya, memerah susu kambing seorang wanita Yahudi..,” (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal…,)

Tentang Umar, Ali Syari’ati menyebutkan,
“..Umar, hanya kerana seekor kuda, mengheret seorang pemuda yang menyalahgunakan jawatan ayahnya ―seorang panglima perangnya yang terkemuka― ke pengadilan, kerana mereka hendak mengambil seekor kuda dengan tipu muslihat..,” (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal..,)


Antara Abu Dzar dan Abu Hurairah[17]
Abu Dzar membawa seluruh keluarganya masuk Islam, dan, sedikit demi sedikit, seluruh sukunya masuk Islam. Ia sedang bersama-sama suku Ghifar ketika kaum Muslimin melewati kesulitan-kesulitan perjuangan di Makkah, ketika mereka berhijrah, dan di Madinah, ketika mereka bergerak dari tahap individualisasi ke tahap pembentukan sistem kemasyarakatan, dan sebagai akibatnya, peperangan pun dimulai.

Di sinilah Abu Dzar merasa bahwa ia harus berada di gelanggang; ia pergi ke Madinah, dan di sana, kerana tidak mempunyai tempat atau pekerjaan, ia menjadikan Masjid Nabi sebagai rumahnya ― yang pada waktu itu adalah rumah manusia, dan bergabung dengan para sahabat Ahlu Shuffah. (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal…,)


“Pakaiannya, makanannya serta rumahnya memberikan penawar kepada kami para sahabat Ahlu Shuffah di masjid. Kami tidak mempunyai keluarga atau rumah, dan paling sering merasa lapar; setiap malam sekelompok dari kami makan bersama beliau. Apabila beliau mempunyai makanan masak di rumahnya, beliau mengundang kami untuk makan bersamanya; makanan itu adalah sabus, adunan yang dimasak dari gandum murahan dan kurma.” (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal…,)


Jika kita meninjau dengan teliti dan hati-hati, kita akan mendapati betapa jauhnya beza antara seorang Abu Dzar dan Abu Hurairah, walaupun kedua-dua mereka adalah Ahlu Shuffah –mereka yang tidak berumah, yang tidur di Masjid Nabi- seorang yang telah lama masuk Islam dan berjuang dengan kata-kata dan pedang, yang hidup begitu lama dengan Nabi, tetapi tidak ada hadith yang begitu banyak seperti Abu Hurairah. Antara perbezaan yang paling mendasar lagi adalah Abu Dzar sentiasa mencari jarak antara dia dengan pemerintah, sementara adalah biasa seorang Abu Hurairah untuk keluar masuk dalam istana pemerintah Muawiyah. Abu Dzar sampai ke hujung hayatnya, ketika hampir kematian, tidak mahu menerima pertolongan apapun dari sesiapa yang bekerja kerajaan (State), katanya: Siapa di antara kamu yang petugas pemerintah, mata-mata, atau tentera, janganlah ia menguburkan saya.

Kesimpulan Awal.
Adapun begitu, tanpa niat memperkecilkan peranan penting seorang Abu Dzar yang wajiblah kita belajar daripadanya seperti yang ditekankan Ali Syari’ati, kita tidak dapat menafikan kepentingan peranan Abbasiyah kerana kita berpendapat antara masalah paling besar dalam dunia Islam hari ini –khususnya umat manusia di Malaysia- bila mereka meminggirkan tradisi ilmu dan buku dalam kehidupan seharian. Jadilah mereka masyarakat jahiliyah yang pernah diperangi Nabi suatu masa dahulu. Sememangnya maksud 'Iqra' dalam wahyu pertama di Hira' adalah 'Membaca Buku!', ini tafsir yang sangat benar. Dan Islam dikenali di seluruh dunia bukan kerana lewat pedang dan darah (Monggol juga melakukan ekspedisi sebegini) tetapi Islam atau Bangsa Arab yang nomadik dan kerja berperang hanya benar-benar diambil berat di pentas dunia bila mereka mulai aktif menerjemahkan buku dan kegiatan ilmu yang rancak era dinasti Abbasiyah –jika mengikut idea Jalal Ahmad, penulis Occidentosis, Islam hanya benar-benar Islam apabila telah mencapai tanah di antara Tigris dan Euphrates- Wahyu Iqra' hanya benar-benar difahami apabila Arab sudah bertembung dengan budaya dan masyarakat lain seperti Yunani dan Parsi utamanya. Ini antara bangsa yang obsesif dengan ilmu pengetahuan. Idea-idea seperti 'Menuntut Ilmu Sampai Ke Negeri China', 'Tuntut Ilmu Dari Buaian Sampai Ke Liang Lahad (Minal Mahdi Ilal Lahdi) antara idea-idea yang membakar mereka, burning desire, ambitious umat untuk menjadi manusia yang laparkan ilmu. Mereka pada suatu masa dulu mempunyai slogan 'di mana ada ilmu, di situ ada aku'. Dan pastinya ilmu-ilmu yang membuatkan Islam terkenal bukanlah ilmu agama yang sempit tetapi ilmu-ilmu bagaimana memakmurkan bumi Tuhan. Ilmu-ilmu inilah yang membuatkan orang-orang Barat sampai berbondong-bondong ke Baghdad.

Adapun begitu, berkemungkinan besar Ali Syari’ati mempunyai tujuan lain yang lebih besar dan bermakna, sebagai ideologue sekaligus propagandist ‘Tauhid yang membebaskan!’ bahawa sejarah kali ini harus berhenti bercakap tentang hal-hal orang besar atau filsuf di angkasa, tetapi harus bercakap tentang orang kecil yang berani memberontak, menghentak kaki mereka di bumi melawan tirani, sepertimana tulisnya,
                             
Sejarah selalu melutut di hadapan istana-istana sultan yang megah, di medan-medan pertempuran, dan di ambang pintu dewa-dewa emas dan kekerasan. Tetapi, sekali ini, kita melihat bahawa sejarah pemuja aristokrasi ini sendiri sekarang pergi ke khemah-khemah tua, ke rumah-rumah usang yang hampir roboh, ke kediaman hamba-hamba Afrika, kepada orang yang tidak bernama, kepada orang-orang yang berkaki telanjang di gurun Arab, kepada orang yang tidak penting, seperti Abu Dzar, pemuda dari suku Ghifar…, (Ali Syari’ati, Abu Dzar Untuk Pemula, hal…,)





[1] Diambil dari dalam buku Membangun Masa Depan Islam, Pengantar: John L. Esposito terbitan Penerbit Mizan.
[2] Ibid, 104.
[3] Maklumat tentang Pascal ini diambil dan diubahsuai dari buku Kisah 25 Filsuf Barat karya Matluthfi terbitan Puteh Press tahun 2017.
[4] Kita boleh lihat nanti betapa benarnya sabda Nabi tentang Abu Dzar yang dipinggirkan dan dibiarkan mati yang menyedihkan di gurun Rabadzah.
[5] Proudhon seorang mutual anarchist yang meletakkan dasar-dasar sosialisme, tetapi kemudian disingkirkan oleh Marx.
[6] Penerangan fasal ini diambil dari nota Sdr. Raja Otek tentang review buku Proudhon, What Is Property.
[7] Diambil dari dalam buku Anarki: Sebuah Panduah Grafik (Terjemahan Indonesia) karya Clifford Harper.
[8] Diambil dari dalam buku Membangun Masa Depan Islam, Pengantar: John L. Esposito terbitan Penerbit Mizan, hal. 71.
[9] Tak jauh berbeza pandangan Karl Marx tentang Proudhon iaitu betapa orang miskin yang lebih wajib memperjuangkan nasib mereka, Abu Dzar sendiri dikatakan terkejut ketika ia melihat seorang lapar yang – meskipun ia tidak mempunyai apapun untuk dimakan di rumah – tetap tidak mahu memberontak dengan senjata terhunus.
[10] Diambil dari dalam buku Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Garaudy, Muhsin Al-Mayli, terbitan Paramadina, hal. 153.
[11] Ibid, 29.
[12] Diambil dari dalam buku Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme terbitan PT Gramedia, hal. 38.

[13] Sdr. Rosli Ibrahim dalam status FBnya yang terbaru, 25 Mac 2017 menyebutkan Rausyanfikir yang dipopularkan oleh Ali Shariati merupakan pengembangan semula idea-idea Mulla Sadra dalam karyanya al-Hikmat al-Muta'aliya Fi Asfar al-'Aqliyyat al-Arba'ah. Dalam teori ini, manusia menempuh empat tahap perjalanan menuju kesempurnaan wujud 'Aql dan Shuhudnya. Rausyanfikir merupakan peringkat perjalanan yang ke-4. Peringkat perjalanan ke-4 yang dimaksudkan ini ialah "dari makhluk ke makhluk bersama al-Haq" (al-safar fi al-khalq Bi al-Haq)
Siapakah "enlightened soul" yamg dimaksudkan oleh Ali Shariati? Bukankah "jiwa yang tercerahkan itu rausyanfikir, seseorang yang memiliki kesadaran terhadap hal-hal kemanusiaan.
Sdr. Rosli Ibrahim mencadangkan supaya membaca teori kenabian Mulla Sadra kemudian membandingkannya dengan idea "enlightened soul" Ali Shariati. Kelebihan idea Shariati ialah bila tokoh ini memberikan sisi-sisi sosiologi kepada pemikiran Mulla Sadra tentang empat perjalanan.

[14] Ali Syari’ati menuliskan di nota kaki dalam bab ‘Dari Mana Kita Mesti Mulai’ (terjemahan Indonesia), dia mengatakan di tempat lain, dalam Islamshenasi (Masyhad, 1347/1968), dia telah menunjukkan bagaimana dinasti Abbasyiyah telah mendepolitisasi rakyat dan mengalihkan perhatian mereka dari masalah-masalah politik yang aktual dan soal-soal tentang “benar dan salah” dengan jalan mendukung pertumbuhan ilmu pengetahuan, kesenian, kesusasteraan, penemuan ilmiah, hujah-hujah falsafah, dan penerjemahan, serta peniruan warisan dan budaya bangsa-bangsa lain.
[15] Ibid, hal. 28.
[16] Dipetik dari Perspektif Sahabat Dalam Islam (Edisi Melayu) atau Edisi Bahasa Arab, Al-Syi’ah wa al-Sahabah, Beirut, 1980, karya Syeikh Asad Haidar.
[17] Keterangan lanjut tentang Abu Hurairah (Bapak Kucing) boleh cari buku bertajuk Abu Hurairah oleh Al-Sayyid ‘Abd al-Husain Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili (pdf).

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Sinopsis Tivi, Karya SN Shahnon Ahmad

  Oleh: Afaf Syukriyah Seperti mana yang telah dijanjikan, saya akan ceritakan serba sedikit sinopsis berkaitan buku ini. Benar, berdasarkan tajuk, memang buku ini berkisar tentang TV – televisyen. Tetapi penulis bijak, beliau lebih kerap mengistilahkan tv sebagai tetamu. Untuk membaca karya ini, pembaca mesti mengkhayalkan latar tempat dan zaman dalam novel ini. Cuba bayangkan suasana cerita adalah di kawasan kampung, kita ambil contoh di daerah Sik atau Yan, Kedah. Sebab kawasan ini lebih dekat dengan jiwa penulis sendiri. Kerana suasana kampung yang terlalu pekat, maka mereka seakan-akan tidak mengenali dunia luar yang sebenarnya, sehinggalah anak kepada pasangan Mat Isa dan Jeha iaitu Chah telah merantau ke bandar besar untuk bekerja di sana. Segala gambaran dunia bandar telah diimport oleh Chah untuk dibawa masuk kepada ahli keluarganya. Berbekal kekayaan hasil bekerja sebagai pekerja kilang skru, Chah telah melimpahkan kekayaan kepada ahli keluarganya dan kekayaan yang paling b

Tan Malaka & Tuhan

Adakah persoalan ini penting sebenarnya? Mempertanyakan sesuatu yang terlalu personal? Persoalan ini akan merambah kepada persoalan lain sebenarnya, yang hujungnya akan membawa kepada pertelingkahan yang berakhir dengan 'nak tanam di jirat mana?' Kerana jika kita mengatakan Tan Malaka seorang yang bertuhan, maka bertuhan yang mana pula? Adakah bertuhan gaya agnostik -yang berdiri antara ragu dan tidak- ? Atau bertuhan gaya deism -yang Tuhan mengoperasikan alam secara mekanikal- ? Atau bertuhan gaya pantheism -yang Tuhan mencair menjadi segala sesuatu- ? Atau bertuhan seperti mereka yang beragama dalam organized religion? Itu juga harus dipecahkan lagi. Organized religion yang mana? Organized religion ardhi (bumi), atau organized religion samawi (langit)? Organized religion ardhi, seperti Hindu, Buddha, atau organized religion samawi atau semitic religion - seperti Yahudi, Kristian dan Islam. Atau mudah ceritalah, Islam. Adakah Tan Malaka seorang yang beragama Islam (Muslim)?

Hayy bin Yaqdzon: Manusia dalam Asuhan Rusa

  Oleh: Amirrul Zaki Ada pertanyaan yang menarik dalam buku ini. Jika Tuhan tidak mengutuskan para Nabi bersamaan kitab suci al-Quran, adakah manusia tidak mengenal Tuhan dan agama? Karya Ibnu Thufail menjelaskan dalam bentuk sastera pertanyaan ini.  Sedikit fakta menarik tentang buku ini. Dalam banyak Ibnu Thufail menulis buku hanya karya Hayy Bin Yadzon dapat diselamatkan dari kebodohan hujung pemerintahan al-Muwahhidun yang mengharamkan ilmu falsafah. Nama penuh Ibnu Thufail adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Tufayl al-Qaisi al-Andalusi . Beliau mahir dalam falsafah rasio Aristotle seperti tokoh muslim yang lain seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan Ibnu Farabi. Beliau pakar ilmu perubatan sehingga menjadi Doktor peribadi pemerintah. Ibnu Sina juga menulis karya Hayy Bin Yaqdzon tetapi versi berbeza dari karya Ibnu Thufail. Terdapat banyak kekeliruan kerana nama tajuk sama tetapi berbeza penceritaan.  Ibnu Thufail menulis Hayy Bin Yadzon dalam bentuk sastera untuk