Idrus Shahab dalam Tempo mengatakan, bahawa argument yang
dibawa oleh Karen Armstrong dalam buku ini sanggup meruntuhkan sejumlah
pendapat kaum atheis yang dengan gagah mengatakan bahawa Tuhan telah mati.
Karen menulis, bahawa tugas agama sebenarnya adalah sangat
mirip dengan seni, yakni membantu kita hidup secara kreatif, damai dan bahkan
gembira dengan kenyataan – kenyataan yang tidak mudah dijelaskan dan masalah –
masalah yang tidak boleh kita pecahkan.
Antara Mythos dan Logos
Dalam kebanyakan budaya pramodern, menurut Karen, ada dua
cara berfikir, berbicara dan memperoleh pengetahuan yang diakui. Orang – orang
Yunani menyebutnya sebagai mythos dan logos. Keduanya penting dan tidak satu
pun yang dianggap lebih unggul dibanding yang lain; keduanya tidak
bertentangan, sebaliknya melengkapi. Masing – masing memiliki bidang masing –
masing dan adalah dianggap sebagai tidak bijaksana untuk mencampurbaurkan
keduanya. Logos atau nalar adalah cara berfikir pragmatis yang memungkinkan
orang untuk berfungsi secara efektif di dunia. Manusia memerlukan logos untuk
membuat senjata yang efisien, mengatur masyarakat, atau merencanakan sebuah
ekspedisi. Logos berpandangan ke depan, terus menerus mencari cara – cara baru
untuk mengendalikan lingkungan, meningkatkan wawasan lama, atau mencipta sesuatu
yang baru. Logos penting bagi kelangsungan hidup spesies kita. Tetapi logos
memiliki keterbatasan: ia tidak dapat melipur kesedihan manusia atau menemukan
makna tertinggi dari perjuangan hidup. Untuk yang itu, manusia beralih kepada
mythos atau mitos.
Hari ini, tulis Karen, kita hidup dalam masyarakat logos
yang ilmiah dan mitos telah jatuh ke dalam kehinaan. Dalam bahasa popular,
sebuah mitos adalah sesuatu yang tidak benar. Namun pada masa lalu, mitos
bukanlah fantasi sekehendak hati; melainkan, seperti logos, ia membantu orang
untuk hidup secara kreatif di tengah dunia kita yang membingungka, meskipun
dalam cara yang berbeza. Mitos mungkin telah menyampaikan berbagai cerita
tentang dewa – dewa, tetapi sesungguhnya mitos berfokus pada aspek yang lebih
sukar dimengerti, membingungkan dan tragis dari keadaan manusia yang berada di
luar kewenangan logos. Mitos telah disebut sebagai bentuk primitif psikologi.
Akan tetapi sebuah mitos tidak akan efektif jika orang
sekadar percaya kepadanya. Mitos pada dasarnya adalah sebuah program aksi. Ia
dapat menempatkan kita pada sikap rohani atau psikologi yang benar, tetapi
terserah pada kita untuk mengambil langkah berikutnya dan membuat ‘kebenaran;
mitos itu menjadi kenyataan dalam kehidupan kita sendiri. Satu – satunya cara
untuk mengukur nilai dan kebenaran sesebuah mitos adalah dengan melakukan
tindakan ke atasnya. Mitos tentang pahlawan misalnya, mengambil bentuk yang
sama pada hampir semua tradisi budaya, mengajari masyarakat bagaimana membuka
potensi heroik mereka sendiri. Kelak, cerita tokoh – tokoh sejarah seperti
Buddha, Jesus atau Muhammad dibuat memenuhi paradigma ini supaya para pengikut mampu meniru mereka dengan cara
yang sama. Ketika dipraktikkan, sebuah mitos dapat mengungkapkan kepada kita
kebenaran yang sangat mendalam tentang kemanusiaan kita. Ia menunjukkan kepada
kita bagaimana hidup secara lebih berlimpah dan lebih intens, bagaimana
berhadapan dengan terbatasnya kehidupan kita, dan bagaimana bertahan
menanggungkan penderitaan jasadi. Tetapi jika kita gagal menerapkannya pada
situasi kita, sebuat mitos akan tetap kekal abstract dan sulit dipercaya.
Dalam Epilog buku ini, Karen menyatakan, bahawa agama tidak
semestinya menyediakan segala – gala jawapan atas pertanyaan yang berada dalam
jangkauan akal manusia. Itu, menurut Karen, adalah peranan logos. Tugas agama,
sangat mirip dengan seni, seperti yang disebutkan di atas. Agama adalah untuk
membantu kita hidup secara kreatif dengan kenyataan – kenyataan yang tidak
mudah dijelaskan dan masalah – masalah yang tidak mampu kita pecahkan:
kematian, penderitaan, kesedihan, keputusasaan dan kemarahan pada ketidakadilan
dan kekejaman kehidupan. Selama berabad – abad, orang – orang di semua budaya
menemukan bahawa dengan mendorong kekuatan penalaran (logos) mereka sampai pada
batasnya, membentang bahasa sampai hujungnya, akan memungkinkan mereka
merangkul penderitaan mereka dengan tenang dan berani. Rasionality ilmiah dapat
memberitahu kita mengapa kita menderita cancer, bahkan dapat menyembuhkan kita
dari penyakit. Tetapi rasionality ilmiah (logos) tadi tidak dapat meredakan
kengerian, kekecewaan dan kesedihan yang datang bersama diagnosis itu, juga
tidak dapat membantu kita untuk mati dengan baik. Itu bukan berada di dalam
kuasa rational. Akan tetapi, agama pula tidak akan bekerja secara automatik; ia
memerlukan upaya yang besar dan tidak akan berhasil jika ia dangkal, palsu,
memberhala dan atau memperturutkan kehendak sendiri.
KEPENTINGAN MENGHUBUNGKAN MITOS – RITUAL
Agama adalah disiplin amaliah dan wawasannya tidak berasal
dari spekulasi abstract, tetapi dari latihan spiritual dan gaya hidup yang
berdedikasi. Tanpa amalan seperti itu, mustahil untuk memahami kebenaran
ajarannya. Hal ini juga, tulis Karen, berlaku untuk filsafat rationalism. Orang
– orang datang kepada Socrates bukan untuk belajar sesuatu – Socrates selalu
menekankan bahawa dia tidak mempunyai apa – apa untuk diajarkan kepada mereka –
melainkan untuk mengalami perubahan pemikiran.
Semenjak awal, manusia menghidupkan kembali mitos – mitos
mereka dalam berbagai bentuk upacara yang mempengaruhi penglibatan secara
estetis, sebagaimana setiap karya seni menghantarkan mereka ke dimensi
eksistensi yang lebih tinggi. Mitos dengan ritual, dengan demikian, tidak dapat
dipisahkan. Tanpa ritual, mitos tidak akan masuk akal, dan akan tetap gelap
tidak tertembus sebagaimana not musik, yang tidak dapat dimengerti bagi
kebanyakan kita hingga ia ditafsirkan melalui alat musik.
Agama, seperti itulah, bukanlah sesuatu yang terutama
menyangkut fikiran manusia, melainkan lebih kepada perbuatan mereka. Kebenaran
agama diperoleh melalui amalan langsung. Tidak ada gunanya membayangkan bahawa
kita dapat membawa kereta hanya dengan membaca manual atau mempelajari
Peraturan Lalu Lintas. Kita tidak dapat
belajar menari, melukis atau memasak dengan hanya menekuni teks. Aturan
– aturan permainan papan (board game)
terdengar kabur, dirumit – rumitkan dan sulit difahami sampailah kita mulai memainkannya, baru pada saat itulah
semuanya terasa tepat pada tempatnya.
Ada beberapa hal, tulis Karen, yang hanya dapat dipelajari
melalui latihan tekun tanpa henti, tetapi jika kita bersabar, akan mendapati
bahawa kita mencapai sesuatu yang pada awalnya nampak mustahil. Kita dapat
belajar untuk melompat lebih tinggi dan dengan lebih anggun melampaui apa yang
tampaknya mungkin diraih ileh manusia, atau menyanyi dengan keindahan yang luar
biasa.
Tetapi orang – orang yang tidak mencuba menerapkannya tidak
akan mendapat mengalami kemajuan sama sekali. Orang beragama merasa sulit untuk
menjelaskan bagaimana pengaruh ritual dan amal mereka, persis bagaimana seorang
peluncur mungkin tidak sepenuhnya sedar akan hukum fisik yang memungkinkan dia
meluncur di atas ais menggunakan sebilah papan tipis. Dan catat Karen lagi,
kaum Daois memandang agama semacam ‘kecekapan’ yang diperoleh melalui latihan
yang terus menerus. Dan Zhuangzi salah seorang tokoh terpenting sejarah
spiritual Cina, menjelaskan bahawa, adalah tidak ada gunanya berusaha untuk
menganalisis ajaran agama secara logis.
Ulasan
Catat Ulasan