Judul
Buku: Oposisi Pasca Tradisi
Penulis
Buku: Hassan Hanafi
(di
bawah bukanlah sebuah ulasan / resensi. Sebaliknya penyalinan semula isi – isi
menarik dan menggugat yang dibaca petang tadi ketika di dalam bas.)
Judul
asli buku ini, HUMUM AL – FIKR
AL – WATAN
At
– Turas wa al – Asr wa al – Handasah Juz 1
Dar
Qubba’, Kairo, 1988
Penerjemah:
Khairon Nahdiyyin
Kata
Penerbit,
‘..Hanafi
menjelajahi tradisi bukan semata – mata sebagai persoalan epistemologis, dan
tidak berhenti di situ, tetapi merekonstruksi tradisi itu untuk transformasi
dan perubahan pada aras praktis. Dengan itu Hanafi mengkritik sisi – sisi
konservatif dari tradisi yang menghalangi kemajuan, menyerah pada penguasa,
menyerahkan sesuatu yang terjadi di muka bumi sebagai ‘urusan langit’ dan
sebagainya. Hanafi merekonstruksi tradisi yang memproklamasikan kebebasan
manusia dalam sejarah dan rasional. Saat ini, menurut dia, kita berada dalam
pergulatan dan pemaknaan social.
Bagi
Hanafi, tradisi bersisi dua. Ia bisa digunakan sebagai alat hegemoni. Ini
tercermin dalam penafsiran ayat – ayat al – Qur’an dengan menggunakan
metodologi tertentu untuk membela kepentingan kekuasaan atau ideology tertentu.
Tradisi lalu dijadikan ideology politik. Menurut Hanafi, selama tradisi
menghegemoni kita, dan tidak ada jalan bagi kita untuk kebebasan, maka kita
harus melaksanakan perlawanan serupa untuk mengembalikan nilai – nilai
kemanusiaan.
Projeknya, al – Turath wa al – Tajdid (Tradisi dan Pembauran) mencuba
menganalisis pembentukan dan latar belakang tradisi, dan mencermati bagaimana
tradisi disimpangkan menjadi beku, dan mengalami sakralisasi dan bagaimana
tradisi itu akhirnya berlawanan dengan kemaslahatan umum. Pada fasa pertama, ia
menggunakan metode historis, yakni menguraikan pembentukan tradisi menelanjangi
kesakralannya. Tahap berikutnya, memfungksikan tradisi baru untuk transformasi
social, bukan untuk kajian ilmiah belaka. Menurut Hanafi, lapan puluh persen
analisis terhadap tradisi masih bersifat sentralistik dan totalitarian. Kerana
itu, tradisi – menurut Hanafi, tidak bisa dibedah semata – mata epistemologis,
tetapi mengiterpretasinya kembali secara progresif yang menang, maka akan lahir
generasi baru yang mempunyai pemahaman baru atas tradisinya.
'....Hanafi
terus menerus mengingatkan akan bahaya manipulasi tradisi untuk kepentingan
kekuasaan yang hegemonik, dan mencari formula perlawanannya..,'
'...Dengan
keprihatinan yang mendalam atas apa yang saat ini terjadi di dunia Islam, ia
mempersenjatai kaum muda dengan analisis yang tajam mengenai 'tradisi lain'
yang menjadi kekuatan untuk oposisi atas kecenderungan penggunaan tradisi untuk
penguasaan. Misalnya, atas gerakan Hakimiyah, yang seringkali mengacaukan
obsesi hegemoni dengan slogan la - hukma illa lillah - tidak ada hukum kecuali
hukum Allah 'pemberlakuan Syari'at Islam. Orang sering dininabobokan dengan
retorik, bahawa hukum manusia tidak sempurna dan hanya hukum Allah - Syari'at,
dengan lembaga - lembaga khalifah yang mampu menjadi solusi bagi dunia saat
ini.'
Hassan
Hanafi tidak menolak begitu saja, tetapi ia juga mengkritik retorik itu.
'...Syariat
Islam bersifat universal. Hukum Islam berupa hak - hak dan kewajipan. Kita
harus lebih dulu memberikan hak - hak. Hukuman itu di akhir, bukan di awal.
Ketiga, syari'at tidak dapat diertikan hanya hukum pidana (qanun al - 'uqubat).
Kita tidak boleh menuntut kewajiban umat Islam sebelum hak - haknya dipenuhi.
Seorang pencuri tidak bisa dipotong tangannya apabila ia miskin, kelaparan dan
pengangguran. Umar Ibn Khattab meniadakan hukum pidana pencurian di tahun -
tahun kelaparan. Sebelum memberlakukan hukuman kepada mereka, kita harus
memberikan rumah yang layak, pekerjaan dan upah, sekolah, rumah sakit yang
menjadi tanggungjawab bait al - mal. Jika setelah semua keperluannya tercukupi
dan negara telah menolongnya ia masih mencuri, barulah layak diberi hukuman..,'
Dalam
bab 1, Hanafi menulis,
'Tradisi
(thurath) ada dua, tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi, tradisi negara dan
tradisi rakyat, budaya resmi dan budaya perlawanan. Budaya, sebagaimana
masyarakat, berbeda - beda seiring dengan perbedaan kekuasaan di dalam
masyarakat. Oleh kerana masyarakat terbentuk dari kelas - kelas sosial, dan
pertentangan memperebutkan kekuasaan di dalamnya sejalan dengan pertarungan
antar kelas. Maka setiap kelas, setiap kekuasaan, memiliki tradisi dan budaya
masing - masing, tradisi penguasa dan tradisi rakyat, tradisi negeri dan
tradisi swasta, budaya kaum elit dan budaya masyarakat awam.'
Tulis
Hanafi lagi,
'..tokoh
- tokoh fiqh (baca, agamawan) mengkodifikasikan tradisi negara, dan negara
memasukkan tokoh fiqh oposisi ke dalam penjara. Negara memberikan kepada para
tokoh fiqh (agamawan) jabatan - jabatan keagamaan, mufti, hakim dan peneliti,
sementara menuduh mereka yang berseberangan dengan negara sebagai kafir,
zindiq, atheis dan menyimpang dari sistem. Negara memberikan pakaian kebesaran
kepada para pendukungnya, dan memasukkan para penentangnya ke dalam penjara..,'
'Hal
tersebut dapat dilihat secara jelas dari nama - nama aliran, gelar - gelar para
tokohnya dan bahasa tulis. Tradisi kekuasaan adalah tradisi Ahl Sunnah wal
Jamaah, kelompok yang konsisten (istiqamah), kelompok yang berpegang pada
riwayat dan hadith (ahl ar - riwayah wa al - hadith), dan merupakan umat Islam.
Sementara itu tradisi oposisi adalah tradisi Syi'ah, Khawarij dan Muktazilah.
Sebutan - sebutan ini mengandung penilaian (judgement).
Siapakah di antara kita yang ingin inkonsisten, menyimpang dari tradisi
(sunnah), atau mengingkari hadith, atau menjadi Syi'ah, Khawarij dan
Muktazilah? Para pendukung tradisi kekuasaan memiliki gelar - gelar seperti al - Syeikh al - Rais, Hujjatul Islam, Imam
al - Haramain, Nasir al - Millah wa ad - Din, Hami Hima al - Islam... dst,
sementara para pendukung tradisi oposisi mendapat gelar seperti atheis, zindiq,
kafir, murtad, munafiq, manawi, zoroaster, sabi', barhamiy... dst. Siapakah di
antara kita yang tidak menginginkan gelar - gelar pertama, dan siapakah yang
tidak membenci gelar kedua? Tradisi kekuasaan bersabda dan sabdanya menjadi
ketetapan, sementara tradisi oposisi beranggapan dan mengklaim. Tradisi
kekuasaan merupakan satu - satunya kelompok yang selamat, sementara tradisi
oposisi merupakan di antara tujuh puluh dua kelompok yang sesat.'
Hal
tersebut terlihat jelas dalam berbagai pilihan politis terhadap tradisi
kekuasaan di semua cabang ilmu. Yang pertama, ilmu akidah atau ilmu usuluddin
yang mengeksperesikan pandangan tentang alam, hubungan pencipta dengan makhluk,
dasar teoritik bagi masyarakat baru. Berkaitan dengan landasan tauhid,
kekuasaan memilih konsepsi mengenai Allah sebagai yang melayani kepentingan -
kepentingannya, mempertahankan despotismenya, dan melegitimasi
keberlangsungannya, sedemikian rupa sehingga tidak tampak jelas perbedaan
antara sifat - sifat Allah dengan sifat - sifat penguasa (sultan). Allah ada
dengan sendirinya (Being - by - itself)
sebagaimana penguasa, Ia yang pertama sejak azali sebagaimana penguasa yang
sudah digariskan oleh takdir sejak 'dahulu'. Ia diutus oleh kepentingan ilahiyyah untuk menyelamatkan tanahair.
Dia yang Maha - Kekal abadi sebagaimana penguasa sepanjang hayatnya. Dia yang
abadi seperti penguasa yang tidak didahului dan tidak diakhiri oleh rakyat.
Dialah bapak rakyat, dan tidak ada rakyat setelahnya, tidak ada sesuatu pun
yang menyerupai Allah, maha suci, transenden, dan satu. Demikian pula penguasa,
ia memiliki sifat – sifat yang eksklusif, ia melampaui manusia dan tidak ada
yang menyamainya. Ilmu Allah mutlak. Tak satu pun biji – bijian, benda
kering dan basah di kegelapan malam yang
tidak diketahui, dan tak satu pun dedaunan yang gugur dari pohon lepas dari
ilmu – Nya. Demikian pula dengan mata – mata penguasa. Tak satu pun yang
bersembunyi yang tidak terjangkau oleh mata – matanya. Segala sesuatu, bagi
mata – matanya, tercatat dalam buku yang jelas (kitab mubin) atau terekam secara rahsia. Ia memasang telinga untuk
merekam tindakan – tindakan yang dilarang, merekam bisik – bisik masyarakat,
dan gerak – gerik mereka terang – terangan atau sembunyi – sembunyi. Di tempat –
tempat umum, di kamar tidur, ada mata – mata yang pernah tidur. Tidak ada beda
antara mata Allah dengan mata singa malam. Apakah ini merupakan ilmu ilahi yang
komprehensif atau mata – mata intelijen dan aparat keamanan? Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu seperti penguasa, ia memuliakan siapa saja yang dia
kehendaki, merendahkan siapa saja yang dia kehendaki, ia menghidupkan dan
mematikan, mengangkat dan mempensiunkan, memerangi dan mendamaikan..
Ulasan
Catat Ulasan