Para pemikir dan ideolog Marxis di India khususnya, dan umumnya di
Negara – Negara dunia ketiga lainnya tidak menunjukkan penghargaan
terhadap sensitiviti budaya dan sentiment keagamaan setempat. Mereka
mengadopsi (mengambil) idiom budaya Barat dan menggunakan pendekatan
yang elitis. Pada umumnya untuk menarik perhatian masyarakat, Marxisme
menggunakan idiom – idiom yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan
ekonomi, bukannya memperkaya kehidupan spiritual dan budaya masyarakat.
Sesungguhnya Marxisme yang seperti ini tidak memakai idiom Marxis yang
asli yang berakar pada etos (jiwa khas sesuatu bangsa) budaya setempat.
Marxisme yang seperti itu merupakan ideologi kelas menengah, sedangkan
kaum buruh dan petani dilekatkan pada Marxisme dalam rangka mencapai
tujuan ekonomi yang terbatas dan mereka dijauhkan dari semangat budaya
dan spiritualnya sendiri.
Tidak menghairankan jika Marxisme tetap
tidak menarik dibandingkan dengan fundamentalisme, konservatisme dan
kelompok – kelompok reaksioner, kerana yang terakhir ini mampu memenuhi
keperluan spiritual masyarakat, dan dalam hal ini, keperluan spiritual
ini sama kuatnya dan sama mendesaknya dengan keperluan ekonomi. Tidaklah
menghairankan kalau masyarakat berada di bawah pengaruh keagamaan kaum
fundamentalisme dan cara pandangnya (outlook) tetap tidak berubah.
Kemudian parti – parti politik yang berorientasi pada religious
konservatif, seperti Jamaat Islami, mendirikan sarekat dagang untuk
menjaga kaum buruh sepenuhnya tetap berada di bawah pengaruhnya.
Oleh kerana itu kaum Marxis perlu mengembangkan sebuah pendekatan
religio – cultural dan ekonomi yang menyeluruh yang berakar pada etos
masyarakat setempat. Hal ini memerlukan pemikiran yang luas, original
dan kreatif serta teoritisasi yang matang. Marxisme yang berorientasi ke
Barat dengan segala setnya tidak akan banyak berperanan. Marxisme juga
tidak boleh mengesampingkan agama, apalagi mencampakkannya. Marxisme
sangat perlu memikirkan masalah ini secara mendalam. Menganggap agama
sebagai candu masyarakat dan membuangnya merupakan pendekatan yang
sungguh – sungguh dangkal. Harus diingat bahawa agama adalah instrument
yang penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideology yang
revolusioner. Agama akan menjadi candu, seperti yang dikatakan Marx,
hanya jika menjadi lenguhan kaum yang tertindas (sigh of the oppressed),
hati dari manusia robot (heart of the heartless would) dan jiwa dari
keadaan yang kosong (spirit of a spiritless situation).
Namun
demikian, sesungguhnya agama tidak selalu menjadi sekadar lenguhan dari
kaum yang tertindas; agama juga bisa menjadi sebuah pedang yang ada di
tangan mereka. Agama tidak selalu menjadi candu untuk menghindar dari
pertentangan melawan eksploitator; agama bisa menjadi sumber motivasi
yang kuat untuk menggulingkan status quo. Ada beberapa contoh untuk itu.
Agama Buddha, Kristian, dan Islam adalah agama yang menentang
status quo. Tiga agama itu mendorong terciptanya tatanan baru yang
revolusioner. Bahkan agama Yahudi ketika Nabi Musa masih hidup,
menentang raja Fir'aun sebagai raja yang kejam.
Demikian
juga yang terjadi di Iran dan Filipina membuktikan bahawa agama
merupakan pendorong untuk menyingkirkan status quo. Islam di Iran
menggulingkan Syah, dan Kristian di Filipina merobohkan Marcos.
Ditransliterasi ke bahasa Melayu Malaysia
Ulasan
Catat Ulasan